Kelurahan Tanjung Uma, merupakan wilayah nelayan pertama dan tertua di Kota Batam. Kelurahan yang berhadapan langsung dengan Singapura ini memiliki lanskap khas masyarakat nelayan. Rumah-rumah kayu, alat-alat penangkap ikan yang terjejer di sekitar rumah serta pompong (perahu tradisonal) yang sedang merapat bisa ditemui disetiap sudut Tanjung Uma. Deretan rumah kayu tersebut, berjajar acak di atas birunya air laut. Oleh Pemerintah Kota Batam, keberadaan pemukiman nelayan di Tanjung Uma masuk dalam kategori cagar budaya. Sebab sebelum adanya pengembangan Otorita Batam, kampung-kampung nelayan tersebut sudah terlebih dahulu ada. Masyarakat Batam biasa menyebut kampung-kampung nelayan tersebut dengan sebutan kampung tua. Di banding dengan wilayah lain, kelurahan Tanjung Uma termasuk wilayah yang paling banyak memiliki kampung tua. Oleh karena itu pemerintah Kota Batam menganggap Tanjung Uma memiliki komunitas penduduk asli terbesar. Kampung-kampung tua ini terus dinventarisasi keberadaannya agar terhindar dari penggusuran rencana pengembangan Otorita Batam.
Dari data BPS Kota Batam tahun 2007 warga Tanjung Uma berjumlah sekitar 12 ribu jiwa yang berasal dari berbagai pelosok di Indonesia. Ada beberapa etnis budaya yang saat ini menetap di Pulau tersebut. Antara lain Melayu, Bugis, Jawa, Minang, dan Batak. Dari beberapa etnis tersebut, etnis Bugis berjumlah paling besar.
Warga Tanjung Uma hingga kini masih mewarisi budaya asli Batam dalam keseharian mereka. Kias pantun dan penggunaan logat Bahasa Melayu lazim ditemui disetiap sudut daerah ini. Keadaan ini tentu kontras bila dibandingkan dengan ikon Kota Batam yang modern. Kelurahan Tanjung Uma terbagi atas 40 Rukun Tetangga (RT) yang tergabung dalam sembilan Rukun Warga (RW). Adapun nama-nama kampungnya antara lain Kampung Agas, Tanjung Tritip, Tanjung Uma, Kampung Nelayan dan Taman Kota Mas. Di Tanjung Uma juga terdapat pasar tradisional yang menjadi pusat kegiatan ekonomi. Pasar tersebut berubah menjadi pusat keramaian tatkala bulan Ramadhan. Heterogenitas warga Tanjung Uma, menjadikan sajian kuliner Ramadhan di pasar tersebut sangat beragam. Mereperesentasikan ciri kuliner dari daerah asal para pedagang.
Sebagai perkampungan nelayan pertama dan tertua di Batam, Tanjung Uma memiliki keistimewaan historis yang tidak didapatkan di kawasan lain di Kota Batam. Sebagian besar di antara mereka masih menjalankan budaya tutur sapa dengan menggunakan kias pantun. Bagi mereka pantun ibarat identitas, yang akan musnah bila tidak dilestarikan. Logat Melayu warga Tanjung Uma juga masih sangat kental dan dipergunakan sehari-hari tanpa terbatas asal daerah semua warganya. Alhasil jika selama ini Batam terkenal dengan modernitasnya, maka di Tanjung Uma wisatawan bisa menemukan kota Batam dalam versi tradisionalnya.
Selain keistimewaan kultural tersebut, panorama di daerah Kampung Nelayan juga acapkali dijadikan tempat favorit bagi wisatawan yang ingin mendapatkan latar fotografi seputar aktivitas nelayan. Lalu-lalang pompong dengan background tiang-tiang penyangga rumah kayu, ditambah dengan birunya air laut adalah kombinasi harmonis yang dapat dibidik lensa kamera. Belum lagi keramahan warga saat bersapa dengan wisatawan, bisa melengkapi koleksi fotografi bertemakan human life.
Dari Pusat kota Nagoya, Tanjung Uma dapat diakses melalui jalur darat dengan menempuh sekitar 15 menit dengan menggunakan moda angkutan umum. Sedangkan untuk berkeliling di Tanjung Uma dengan menggunakan perahu pompong, tarif yang dikenakan sebesar 15 ribu/perahu.
Letak Tanjung Uma yang relatif dekat dengan pusat kota Nagoya, memudahkan wisatawan untuk mencari akomodasi berupa hotel, pengiinapan serta restoran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar